Ketika umurnya belum mencapai dua tahun, dia harus kehilangan ibu yang mengandung dan melahirkannya. Sejak itulah, penderitaan demi penderitaan seperti tak pernah lepas dari hidup Asmat Purba. Rindu akan kasih sayang ibu, membuatnya tidak hanya mengalami penderitaan fisik akibat tekanan ekonomi keluarganya, namun juga tekanan batin karena rasa kesepian
Sepeninggal istrinya, ayah Asmat mencoba membangun bahtera rumah tangganya kembali. Namun setelah beberapa kali menjalin kasih dan menikah, namun rumah tangganya selalu saja kandas ditengah jalan. Hingga suatu saat sang ayah akhirnya menikahi seorang janda. Wanita keempat yang dinikahi sang ayah inilah akhirnya yang bertahan mengarungi kehidupan bersama keluarga mereka.
Sebuah awal yang manis memberikan pengharapan baru bagi kehidupan keluarga Asmat saat itu, dan itulah pertama kali Asmat merasakan cinta kasih seorang ibu kembali.
"Ibu saya yang baru itu selalu berkata, Asmat panggil saya mama. Hal ini adalah hal baru bagi saya, pertama kalinya saya menemukan seorang mama yang intim dan dekat dengan saya, karena itulah saya senang sekali memanggilnya mama."
Sayangnya semua itu tidak berlangsung lama, ternyata kasih sayang yang ditunjukkan ibu barunya itu hanyalah kepura-puraan belaka. Suatu hari, sang ibu menyatakan kekecewaannya pada sang ayah karena tidak jujur menceritakan bahwa dia telah beberpa kali menikah, dan karena hal itu sang ibu mengancam untuk pergi meninggalkan keluarga mereka. Dua buah pilihan diberikan kepada ayah Asmat, memilih dia tetap menjadi istrinya dan membiarkannya mendidik anak-anak sesuai dengan kemauannya, atau memilih anak-anak dan dia pergi meninggalkan keluarga itu. Dengan menimbang baik-baik karena telah beberapa kali gagal membangun rumah tangga, akhirnya sang ayah menjatuhkan pilihannya.
"Saya memilih kamu, dan silahkan mendidik anak-anak saya."
Dunia seakan runtuh bagi Asmat dan kakak-kakaknya. Mulai hari itu, sikap manis sang ibu lenyap seperti ditelan bumi. Cacian dan makian kasar seakan menjadi makanan sehari-hari bagi mereka, sang ayah menyaksikan semua itu tanpa daya mengingat kata-kata yang pernah terucap dari mulutnya. Penderitaan Asmat dan kakak-kakaknya tidak berhenti pada kata-kata kasar yang terlontar dan menyakitkan hati mereka saja, tetapi juga sering diberi makanan yang sudah tidak layak lagi.
"Makanan ayah dan makanan saya dibedakan. Ayah dan ibu makan makanan yang enak, yang sudah di goreng, atau disambal. Sedangkan kami sengaja dibelikan ikan yang sudah membusuk dan ada belatungnya, itupun tidak dimasak, hanya dibakar diatas api," Asmat menuturkan dengan mata berkaca-kaca.
Seiring dengan kelahiran anak-anak dari ibu tirinya, kakak-kakak Asmat mulai diusir dari rumah. Kini Asmat harus menghadapi penderitaan dari ibu tirinya seorang diri. Seringkali Asmat menangis, merenungi nasibnya serta menyatakan kekecewaannya kepada Tuhan yang mengijinkan semua penderitaan dan kesendirian yang harus ia alami.
"Saya merasa Tuhan tidak peduli, Dia tidak mengasihi saya, dan Dia meninggalkan saya. Hal itu membuat saya tidak dikasihi dan diterima oleh siapapun."
Hari demi hari dilaluinya dengan ketakutan. Terlebih lagi, ketika anak ibunya yang ketiga lahir, Asmat menyadari sebentar lagi giliran dia untuk diusir dari rumah itu akan segera tiba.
"Kira-kira waktu itu sebulan setelah anak itu lahir, saya hendak meminjam tampi untuk menampi beras. Saya kaget, mengapa saya dimaki-maki padahal saya meminta ijin dengan baik-baik. Kemudian saya diusir dari rumah itu."
Perasaan terluka, kesepian dan putus asa membuatnya berkali-kali berkeinginan untuk bunuh diri. Pada waktu seperti itu, berbagai perkataan kasar dari ibu tirinya seperti diputar berulang-ulang dalam pikirannya.
Tak jarang Asmat mendatangi kuburan ibunya, dan menceritakan semua yang dirasakannya pada sang ibu. Namun orang mati, tak dapat berbuat apapun untuk mereka yang hidup. Demikian juga yang dialami Asmat, seruannya pada almarhumah ibunya tak berdampak apapun, hanya membuat rasa sakit yang dirasakannya semakin perih.
Dendam kepada sang ibu membuatnya bercita-cita untuk menjadi seorang pembunuh. Semakin direnungkannya, semakin besar kemarahannya, dan membuatnya berpikir untuk memutilasi sang ibu tiri.
Tetapi nasib membawa Asmat ke jalan yang berbeda dari yang diharapkannya. Setelah lulus SMP, Asmat diminta ayahnya untuk meneruskan untuk sekolah guru agama Kristen (PGAKP). Dengan bantuan salah seorang saudaranya Asmat meneruskan sekolahnya, namun tujuan utamanya adalah supaya bisa jauh dari ibu tirinya dan dia bisa belajar ilmu perdukunan di luar jam sekolah. Namun setelah sampai di sekolah tersebut, Asmat begitu asik dengan studinya sehingga lupa akan niatnya untuk belajar ilmu perdukunan. Namun sakit hati yang dirasakannya tidaklah sembuh, tapi hanya terkubur.
Dengan jiwa yang masih sangat rapuh, Asmat menjalin kasih dengan seorang wanita yang dijumpainya sewaktu ia kuliah di sebuah sekolah tinggi theologia.
"Pada waktu itu saya berpikir bahwa saya akan bahagia setelah saya memiliki seorang istri. Saya percaya bahwa rumah tangga saya akan berbeda dengan rumah tangga ayah saya."
Namun luka hati yang disimpannya sejak kecil menjadi sebuah bom waktu yang mengancam keharmonisan keluarganya.
"Suatu hari saya menceritakan siapa diri saya sebenarnya kepada istri saya, namun saya ceritakan seakan-akan orang lain yang mengalaminya. Namun pada akhir cerita, saya tidak tahan lagi dan mengatakan dengan jujur bahwa semua itu adalah tentang diri saya."
Yonce Be'dong, istri Asmat tidak pernah tahu menahu tentang masa lalu dan latar belakang keluarganya. Kenyataan pahit yang didengar dari suaminya membuat Yonce bingung, kecewa dan menyatakan penolakan yang membuat Asmat semakin terluka.
"Penolakan tersebut membuat saya kembali merasakan kesendirian. Tanpa Tuhan, tanpa istri, tanpa ibu dan tanpa siapapun. Rasa tidak berarti dan tidak diharapkan membuat saya merasa putus asa dan ingin bunuh diri."
Semua tekanan dan rasa terluka yang dialaminya diceritakannya kepada seorang mentor yang dipercayainya. Mentor tersebut akhirnya menyarankannya untuk mengikuti sebuah seminar pemulihan luka-luka batin di Solo. Namun seminar yang ikutinya itu tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkannya.
"Pada seminar itu, suara hati saya protes dengan apa yang terjadi. Saat orang-orang didoakan, mereka dijamah Tuhan dan rebah, setelah itu bersaksi bahwa mereka sudah sembuh. Saya tidak bisa menerima hanya dengan didoakan, rebah langsung sembuh."
Hanya kekecewaan yang dibawanya pulang dari seminar tersebut. Namun keinginannya untuk sembuh membuatnya memutuskan untuk mempelajari dengan sungguh-sungguh materi seminar tersebut.
"Saya tulis semua yang menyebabkan saya ingin bunuh diri dan ingin membunuh, lalu saya bersama istri saling mendoakan, serta memutuskan untuk melepaskan pengampunan. Saya sebutkan nama-nama orang yang telah menyakiti saya, ibu tiri saya dan ayah saya, juga pengampunan atas tindakan-tindakan mereka."
Pemulihan yang dialami Asmat memang tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan, namun pelan-pelan namun penuh dengan kepastian kehidupannya mulai dirubah oleh Tuhan. Sukacita, dan damai sejahtera dialami oleh Asmat dan istrinya sejak saat itu.
"Tuhan mengijinkan saya mengalami dalam situasi tersebut, karena Dia memiliki sebuah rencana yang indah melalui kehidupan saya."
Sejak mengalami pemulihan pada tahun 2003 itu, Asmat dan istrinya merintis pelayanan bernama Klinik Konseling Keluarga Bahagia, untuk melayani mereka yang mengalami masalah rumah tangga seperti keluarga dimana ia pernah dibesarkan. Melalui banyak hal yang dialami Asmat, kini dia dapat menjadi berkat bagi banyak orang.
"Tuhan tidak pernah menolak saya, Dia menerima saya apa adanya. Seburuk apapun masa lalu saya, Tuhan tidak pernah menolak saya." Demikian Asmat menutup kesaksiannya dengan sebuah kesadaran bahwa Tuhan mengasihinya, dan rencana Tuhan atas kehidupannya begitu indah dan mulia. (Kisah ini sudah ditayangkan 3 Februari 2010 dalam acara Solusi Life di O'Chanel)
Sumber kesaksian:
Asmat Purba
Sumber : V080720151031